Kepercayaan
“Karena nila setitik, rusak susu sebelangga”
Mungkin itulah pribahasa yang
tepat untuk menggambarkan kondisi penjaga Konstitusi di Indonesia belakangan
ini. Lembaga yang bertugas sebagai penguji undang-undang tersebut seperti
kehilangan kewibawaan dan kepercayaan ditengah-tengah publik saat ini. Bagaimana
tidak, dengan tertangkapnya ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar karena
terlibat kasus suap, lembaga ini seperti berjalan dengan beban berat
dipundaknya karena berusaha untuk mengembalikan kepercayaan publik yang
menurun.
Dikutip dari koran Kompas edisi
Jumat 10 Januari 2014 melalui jajak pendapat, terlihat begitu signifikannya
angka penurunan kepercayaan terhadap Mahkamah Konstitusi. Bulan Juni 2012
dimana kepercayaan publik terhadap MK mencapai angka tertingginya yaitu 65,2%
setelah penangkapan Akil Mochtar karena kasus suap yang menyeret juga sejumlah
nama seperti Atut Choisyah dan Chairun Nisa, angka kepercayaan publik terhadap
lembaga penguji Undang-Undang tertinggi itu menurun menjadj 8,8% di bulan
Oktober 2013 atau berukurang 56,4%.
Untuk mengembalikan Citra Positif
MK di masyarakat, terjadinya pergantian kepemimpinan di tubuh MK dengan
terpilihnya Hamdan Zoelva yang dulunya sebagai wakil MK dan Arif Hidayat yang
sekarang menemani Hamdan Zoelva sebagai wakil MK. Dengan pergantian pucuk kepemimpinan
di badan MK diharapkan dapat memperbaiki citra MK dimata publik yang kian
tergerus. Apakah hal ini berhasil? Seperti yang dikutip di koran Kompas,
statistik menunjukkan peningkatan kepercayaan publik terhadap MK menjadi 27,7%,
akan tetapi angka ini masih jauh dibawah angka 50% dan tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap pucuk kepemimpinan Hamdan Zoelva pun hanya berkisar 40,1%
bahwa beliau dapat memperbaiki kepercayaan publik terhadap MK.
Hal ini bisa menjadi pembelajaran
bagi kita semua bahwa kepercayaan itu nilainya sangat tinggi. Jika kita bisa
menjaga kepercayaan orang lain yang diamanatkan kepada kita, maka niscaya
kepercayaan dan keuntunganlah yang kita dapatkan. Begitu juga sebaliknya, jika
kepercayaan yang diamanatkan kepada kita diruntuhkan, maka cacian dan cap orang
yang tidak dapat dipercayalah yang akan melekat kepada kita. Dan begitu amat
sulitnya memperbaiki kepercayaan orang lain kepada kita. Mungkin saja kita bisa
memperbaiki kepercayaan orang lain kepada kita, tetapi akan membutuhkan waktu
yang sangat lama dan besarnya tantangan yang harus kita hadapi untuk
memperbaiki hal tersebut sama halnya seperti yang sedang diusahakan oleh MK.
Netralitas
Dosen Pancasila di semester satu,
pak Ayub, pernah mengatakan “untuk membuat suatu Undang-undang atau peraturan
yang bersikap Netral terhadap siapapun itu sangat sulit, karena setiap orang
dalam membuat suatu peraturan atau Undang-Undang pasti mempunyai kepentingan
dan mencari keuntungan atau setidaknya dapat memberi keuntungan bagi dirinya
maupun kelompoknya.” Jika ditelaah lebih lanjut, pernyataan tersebut benarlah
adanya. Sangat sulit untuk mencari orang yang membuat undang-undang untuk
menguntungkan semua pihak atau merugikan dirinya sendiri dan kelompoknya.
Karena hampir semua pemangku jabatan mempunyai kepentingan-kepentingan pribadi
maupun kelompok.
Hal ini dapat dilihat dari
dinasti “Ratu” Atut di Banten, begitu besarnya kekuasaan beliau disana, membuat
para penguasa-penguasa kecil didaerah Banten berasal dari sanak keluarga “Ratu”
Atut. Dilihat dari sisi konstitusi, hal ini tidak bertentangan karena memang tidak ada undang-undang yang
mengatur bahwa tidak diperbolehkan hal seperti ini. Akan tetapi jika dilihat
dari nilai-nilai yang ada, maka jelaslah hampir semua bilang hal ini tidak
etis. Karena dikhawatirkan dapat memperkuat kekuatan kekuasaan Atut di Banten
dan mungkin saja menghilangkan nilai-nilai demokrasi serta melemahkan pihak
oposisi yang berfungsi sebagai pengawas kekuasaan. Dan terbuktilah hal ini
dengan tertangkapnya Atut sebagai tersangka suap Pilkada Lebak dan suap
pengadaan alat kesehatan yang juga melibatkan mantan Ketua MK Akil Mochtar
sebagai tersangka kasus suap oleh KPK. Dengan tertangkapnya Atut, maka
terbongkarlah kekuasan Atut di Banten.
“kamu tidak dapat membahagiakan semua orang, yang dapat kamu lakukan
adalah memilih siapa yang akan kamu bahagiakan.”-Toma-
Lalu bagaimana caranya untuk
membuat segala sesuatunya bersikap Netral ?, upaya untuk mendapatkan segala
sesuatu bersikap Netral itu sulit tapi bukan berarti tidak mungkin. Sulit
karena darimanapun seseorang berasal baik berasal dari Parpol maupun nonparpol
pun mempunyai kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok. Begitu juga dalam
kehidupan disuatu organisasi, pasti semuanya mempunyai kepentingan-kepentingan
pribadi dan kelompok. Yang mungkin dapat dilakukan adalah menangkap keseluruhan
besar kepentingan tersebut yang tentunya baik bagi sebagian besar para pemangku
kepentingan. Karena tidak mungkin manusia dapat membuat sesuatu yang
sempurna. Asalkan kepentingan tersebut
tidak melanggar undang-undang atau peraturan yang lebih tinggi dan dapat
menguntungkan banyak pihak baik pribadi, kelompoknya maupun kelompok lain.
Pada akhirnya, dapat ditarik
kesimpulan dari dua pembahasan diatas tentang kepercayaan dan Netralitas, maka
Kepercaayaan dan Netralitas adalah hal mutlak yang wajib dimiliki dan
dipertahankan oleh pemimpin. Dengan mempertahankan dan meningkatkan kepercayaan
orang lain kepada dirinya, maka pemimpin tersebut telah meninggalkan jejak atas
nama dirinya sendiri dikemudian hari yang mungkin akan dikenang dan
menjadi contoh bagi pemimpin-pemimpin
selanjutnya. Lalu Netralitas pun tidak lepas dari seorang pemimpin. Seorang
pemimpin selain diberikan kepercayaan oleh sebagian besar orang juga harus
bersikap netral dalam menentukan setiap kebijakannya baik untuk orang-orang
yang mempercayainya maupun tidak mempercayainya. Jangan sampai seorang pemimpin
mencederai orang-orang yang dipimpinnya dengan bersikap tidak netral dan hanya
memihak yang mendukung kekuasaan dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar