Minggu, 23 Maret 2014

URGENSI RUU KEPROFESIAN PSIKOLOGI MENGHADAPI TANTANGAN MEA 2015

Pelaksanaan Masyarakat Ekonomi Asean atau yang biasa disingkat sebagai MEA 2015 hanya tinggal hitungan jari. Diakhir tahun 2015 nanti tepatnya tanggal 31 Desember 2015 tepat pukul 23.59 maka ASEAN akan mempunyai sebuah komunitas pasar bebas dimana seluruh masyarakat Asean dibebaskan mengakses seluruh negara-negara Asean.

Siapapun dapat mencari pekerjaan dinegara-negara yang menjadi anggota asean, mereka akan dibebaskan dari visa dan segala birokrasi yang berbelit lainnya. Selain itu seluruh ekspor dan impor akan dibebaskan dari biaya masuk. Segalanya akan terlihat mudah, menarik dan saling menguntungkan terutama bagi perkembangan dan majunya negara-negara Asean baik disektor ekonomi, kerjasama, solidaritas serta kebudayaan.

Walaupun segalanya akan terlihat mudah, pemberlakuan MEA 2015 ini juga bisa diibaratkan sebagai mata koin. Disatu sisi pemberlakuan ini akan sangat menguntungkan bagi kerjasama multilateral negara-negara Asean, namun disisi yang lain tentunya akan memberikan dampak negatif.

Bagaimana pemberlakuan ini dapat bersifat negatif ?

Jawaban singkatnya adalah persaingan. Didalam sebuah persaingan dapat dipastikan ada pihak yang menang dan ada pula pihak yang kalah. Hal ini yang secara umum dikhawatirkan para ahli jauh sebelum pemberlakuan MEA 2015. ketika sudah tanggal 1 januari 2016 maka mau tidak mau, suka tidak suka, mampu tidak mampu harus mempunyai mental bersaing dan mental juara.

Lalu apa yang bisa kita siapkan untuk menghadapi MEA 2015 agar pemberlakuan MEA ini dapat memberikan lebih banyak manfaat bagi Indonesia dibandingkan dengan mudharatnya?

Sejauh pengamatan yang penulis lakukan di daerah domisili penulis, rata-rata masih banyak yang belum paham mengenai pemberlakuan MEA ini, bahkan jangankan paham, untuk mengetahui bahwa ditahun 2015 akan diberlakukan MEA saja masih sangat sedikit yang mengetahuinya. Padahal jika kita menghitung mundur menuju tanggal diberlakukan MEA ini tentunya tidak akan lama lagi.

Pihak-pihak yang sudah paham mengenai MEA ini menyiapkan berbagai macam strategi salah satunya adalah sertifikasi profesi. Untuk mengakali dan dapat bersaing di masyarakat ekonomi asean ini mereka mengharapkan semua profesi sudah mempunyai sertifikasi yang dapat membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang profesional dibidangnya masing-masing. Dengan adanya sertifikasi tersebut diharapkan ketika mereka bersaing diranah MEA 2015 nanti, sertifikasi tersebut dapat memudahkan persaingan dengan negara-negara lain.

Selain itu pemerintahpun mencari cara untuk mengakali pemberlakuan MEA 2015 dengan tujuan melindungi rakyatnya. Caranya adalah dengan membentuk Undang-Undang. Sudah banyak sekali rancangan undang-undang yang ‘diketok’ oleh anggota dewan yang terhormat menjadi Undang-Undang, dan hal tersebut dilakukan untuk melindungi masyarakat dari sisi hukum. Adanya UU ini secara tidak langsung dapat memperkuat legitimasi hukum dari setiap profesi.

Selain itu dengan adanya UU ini juga secara tidak langsung dapat meningkatkan peningkatan pendapatan negara. contoh yang sedang hangat-hangatnya adalah UU nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu bara dimana salah satu isinya adalah pembuatan smelter (tempat pemurnian bijih mineral). Dengan dibuatnya UU tersebut secara tidak langsung akan menyerap pekerja, meningkatkan nilai pertambangan dan meningkatkan pendapatan negara serta memaksimalkan pengolahan SDA didalam negeri.

RUU Keprofesian Psikologi

Lalu apakah semua keprofesian, pekerjaan, dan bidang-bidang lain sudah mempunyai  Undang-Undang masing-masing? Ternyata masih belum semua, penulis yang sekarang sedang menuntut ilmu untuk menjadi seorang psikolog masih khawatir dengan keprofesian psikolog. Mengapa? Karena RUU keprofesian psikolog sampai saat ini masih sebatas rancangan saja atau kalau boleh menyebutnya baru sebagai angan-angan saja.

Selama 22-23 maret 2014 di UNNES Semarang dalam rangka Rapat Kerja Wilayah ILMPI wilayah 3, penulis mendapat pencerahan bahwa RUU keprofesian psikolog ternyata sudah dirancang sejak awal tahun 2007 oleh HIMSI (Himpunan Psikologi). Lalu gaung mengenai RUU keprofesian ini seakan-akan hilang sampai tahun 2014 ILMPI mulai berkordinasi dengan HIMSI  dan pihak-pihak terkait untuk menggolkan RUU keprofesian ini ke DPR. Target realistis yang ingin dicapai untuk menggolkan RUU tersebut menjadi UU adalah ditahun 2016 mendatang.
Berarti RUU yang sudah sejak tahun 2007 dicanangkan baru diusahakan menjadi UU saat menginjak tahun ke-9. 9 tahun merupakan penantian panjang bagi semua psikolog, sarjana psikologi, dan calon-calon sarjana psikologi. Akan menjadi sebuah ironi tersendiri jika kita mengingat MEA 2015 akan diberlakukan tahun 2015 nanti, sedangkan UU keprofesian ini “baru” akan dijadikan UU ditahun 2016. Itupun jika tidak ada halangan berarti.

HIMSI dan berbagai pihak terkait harus menyiapkan berbagai macam alternatif strategi menghadapi MEA disamping mengusahakan RUU ini sampai ke anggota dewan di Senayan. Sebuah strategi yang nantinya akan melindungi para pelaku psikolog dari Indonesia baik ancaman yang datang dari dalam negeri maupun ancaman saat MEA diberlakukan.

Saat ini keprofesian psikolog mempunyai kode etik yang menjadi acuan bagi keprofesian ini. namun kode etik bukanlah sebuah landasan konstitusi. Sebagaimana diketahui kode etik berasal dari kata etika, dimana etika tersebut dapat diartikan sebagai kebiasaan yang ada didalam suatu kelompok untuk menentukan benar atau salah, baik atau jahat, serta tanggung jawab dari kelompok tersebut. Kode etik inipun bersifat mengikat kepada suatu kelompok tertentu.

Jika menganggap kode etik sudah cukup bagi para psikolog maka hal tersebut jelas sangat salah. mari kita lihat beberapa kejadian yang banyak merugikan psikolog. Salah satu kejadian yang masih sangat umum terjadi adalah penyalahgunaan alat psikotes oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, selain penggunaan alat psikotes mereka juga melakukan analisis hasil dan memberikan hasil tersebut kepada klien. Padahal keilmuan mereka bukan sebagai Psikolog maupun sarjana Psikologi.

Lalu jika para psikolog mengeluhkan hal tersebut, mereka tidak akan mempunyai dasar hukum yang kuat jika hanya mengandalkan kode etik. Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa kode etik hanya berlaku kepada suatu kelompok dalam hal ini adalah anggota HIMSI. Jadi kode etik psikologi hanya mengikat kepada anggota-anggota HIMSI. Oleh karena itu yang dibutuhkan oleh keprofesian Psikologi adalah Undang-Undang tentang Keprofesian Psikologi untuk memperkuat konstitusi keprofesian psikologi.

Akan sangat disayangkan jika para psikolog, sarjana psikologi, dan calon-calon sarjana psikologi masih tidak peka dan tidak peduli terhadap rancangan undang-undang yang akan melindungi dan menguatkan legitimasi hukum keprofesian psikolog. Lalu Ketika masih banyak yang tidak peduli akan timbul sebuah pertanyaan yaitu sampai kapan? Sampai kapan kita bertahan dengan keadaan seperti ini? ironis.

Oleh karena itu baik Himpunan Psikologi, Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia, sarjana psikologi, mahasiswa psikologi dan semua pihak terkait diharapkan dapat lebih peduli mengenai pembahasan RUU keprofesian ini. semoga dengan kepedulian dan semangat yang tinggi untuk memperjuangkan hak-hak para psikolog akan mempercepat proses pengesahan RUU menjadi UU di DPR tahun 2016.

Berikut hasil rapat nasional ILMPI mengenai RUU Keprofesian Psikologi:

Tahun 2014: peningkatan kepedulian tentang RUU keprofesian Psikologi melalui sosialisasi, diskusi publik, seminar, dan lain-lain.

Tahun 2015: pengkajian dan penampungan aspirasi mengenai RUU keprofesian Psikologi baik oleh HIMSI, ILMPI, psikolog, peneliti psikologi, sarjana psikologi, mahasiswa psikologi dan pihak-pihak terkait.

Tahun 2016: audiensi mengenai RUU keprofesian Psikolog di Badan Legislatif DPR RI serta pengesahan RUU menjadi UU.

Diharapkan semua pihak dapat berkordinasi dengan baik untuk mewujudkan UU keprofesian Psikologi. Sehingga psikologi di Indonesia mempunyai dasar hukum yang kuat, diakui secara konstitusi, dan meminimalisir penyalahgunaan dan hak-hak keprofesian psikolog serta mempunyai kekuatan untuk bersaing di Masyarakat Ekonomi Asean 2015 mendatang.

semoga tulisan yang sedikit ini memberikan manfaat dan pencerahan bagi semua para pelaku psikologi di Indonesia, dan apabila terdapat kesalahan-kesalahan seputar informasi yang terdapat di tulisan ini penulis mohon dikoreksi dan diluruskan kesalahan tersebut agar tidak terdapat penyimpangan tujuan awal penulis. 

Ditulis oleh
Rezky Akbar Trinovan
Mahasiswa Psikologi  Universitas Sebelas Maret Surakarta




1 komentar:

  1. terimakasih mas Rezky Akbar, artikel yang bagus. sangat membantu saya dalam menyusun artikel motivasi untuk karyawan..
    Terimakasih

    Salam,

    BalasHapus