Selasa, 11 Maret 2014

Perang Ideologi dizaman Neokolonialisme

ibu saya dulu pernah berkata yang baru saya sadari kebenaraan perkataannya kurang lebih seperti ini,

“nak kamu sekarang hidup dizaman neokolonialisme, bangsa kamu dijajah bukan melalui perang senjata tetapi perang ideologi. Game-game yang kamu mainkan sekarang itu adalah salah satu cara dari perang ideologi dizaman ini, mungkin gim tersebut bermanfaat pada satu sisi akan tetapi disisi lain gim tersebut merusak bangsamu ini secara perlahan.”

Kurang lebih seperti itulah kalimat yang keluar dari sosok ibu yang sekarang bekerja sebagai PNS disalah  satu SMA di Jakarta. Saya dahulu sering kali menyangsikan kalimat tersebut yang selalu diucapkan beliau tatkala saya sedang asik bermain gim sampai akhirnya lupa waktu, lupa belajar, lupa bersosialisasi, lupa, lupa dan lupa.
Dunia kuliah saat ini mengajarkan saya untuk berfikir kritis mengenai hal ini. sudah berapa banyak kita melihat kasus karena sebuah gim seseorang sampai DO dari kuliahnya atau seorang anak mencuri dari ibunya karena hanya membeli voucher untuk bermain gim tersebut, dikasus yang lebih ekstrem lagi seseorang tega menghabisi nyawa orang lain karena bermain gim.

Kasus social learning seperti ini banyak sekali terjadi disekitar kita dan contoh kasus ini hanya berasal dari gim saja. Padahal masih banyak lagi perang-perang pemikiran dizaman sekarang ini. di Psikologi misalnya saya mempelajari bahwa iklan baik cetak maupun elektronik, tayangan televisi, dan semua yang berunsur media merupakan salah satu cara perang ideologi ini. dosen antropologi semester satu yang lalu mengatakan dalam salah satu kuliahnya bahwa cara mencuci otak manusia itu sederhana, yaitu dengan memberi informasi sederhana akan tetapi kemas dengan cara yang berbeda. Inilah yang sering terjadi disetiap media informasi, mereka mengemas informasi sederhana dengan kemasan yang berbeda.

Maka bukanlah sesuatu yang tidak wajar jika kita melihat banyak reformasi ditimur tengah berawal dari media, perang antar negara yang bertetangga terjadi karena media. Salah satu cara perang ideologi yaitu melalui media.

Lalu mengapa terjadi perang ideologis? Jawaban mudahnya adalah karena pernyataan “decartes corgito ergosum” yang artinya saya ada karena saya berpikir. Maka orang yang tidak berpikir sama seperti orang yang tidak hidup atau mati. Orang yang berpikir itu jugalah yang menciptakan ideologi. Sampai disini harus diluruskan bahwa ideologi bukan hanya sebatas pada ideologi liberalisme, sosialisme atau pancasila. Ideologi itu pada dasarnya adalah pemikiran dasar. Bukan hanya manusia yang memiliki ideologi, benda-benda dan iklan-iklanpun merupakan ideologi.

Sampai poin ini kita kembalikan ke realitas yang terjadi dinegara kita ini. zaman neokolonialisme atau perang ideologi ini sudah masuk sejak lama dinegara kita sejak lama. banyak nilai-nilai dan budaya luhur yang menghilang sejak masuknya ideologi-ideologi dari luar. Hanya ada dua cara untuk membendung arus masuknya ideologi tersebut. Cara pertama menerima ideologi tersebut dan membuatnya berasimilasi budaya atau cara yang kedua adalah menolak ideologi yang masuk dengan cara melawannya dengan ideologi juga. Intinya pemikiran melawan pemikiran.
Mungkin tidak menjadi masalah jika ideologi yang masuk itu bersifat baik, kita bisa mencampurkannya dengan yang ada dinegara ini sehingga jadi sebuah produk ideologi baru yang bisa bermanfaat, lalu bagaimana cara untuk melawan ideologi-ideologi yang buruk dan bersifat destruktif tersebut?

Salah satu caranya adalah dengan memilih wakil-wakil rakyat yang mempunyai pemikiran-pemikiran yang akan menangkal pemikiran yang bersifat destruktif tersebut. Karena tidak mungkin 250juta jiwa Indonesia secara individu melawan pemikiran-pemikiran dari luar yang bersifat kolektif. Harus ada wakil-wakil rakyat yang masih menjunjung ideologi kebangsaan. Dan wakil-wakil tersebut bisa didapat saat terjadinya Pemilu.

Saat kita melaksanakan pemilu kita tidak hanya sekedar mencoblos gambar akan tetapi esensinya lebih dari itu. Kita memilih orang-orang yang mempunyai pemikiran kuat untuk kemajuan bangsa ini. mungkin pada tahap ini banyak rakyat dan juga civitas akademika yang meragukan kualitas dari calon-calon yang akan maju dipemilu nanti. Akan tetapi tidak memilih juga bukan solusi, mengutip pernyataan tokoh nasional “tidak memilih itu ibarat seseorang yang berada didalam kapal yang bocor dan orang tersebut hanya berkata kapal ini bocor tanpa bertindak apa-apa”.

Walaupun kita sudah mempelajari rekam jejak calon pemilu nanti, bukan berarti kita memilih sosok yang sempurna ataupun mempunyai ideologi yang kuat. Akan tetapi dengan memilih sosok-sosok yang mempunyai rekam jejak baik kita sudah menapakan satu langkah kedepan bukan kebelakang atau hanya diam ditempat. Selain itu dengan memilih sosok-sosok yang mempunyai rekam jejak yang baik pada dasarnya kita telah memilih sosok-sosok yang cacatnya dapat kita tolerir dan tanggung daripada terpilih orang-orang yang pemburu rente, penjarah pembangungan, dan benalu bangsa.

Pemilu bukanlah mencerminkan keseluruhan demokrasi, akan tetapi pemilu adalah metode kunci dari demokrasi. Mungkin Pemilu yang lalu menghasilkan orang-orang politik yang busuk dan koruptif. Tetapi kita juga punya kesempatan untuk belajar dan memilih orang-orang yang mempunyai ideologi yang berguna untuk kemajuan bangsa ini. saat kesempatan tersebut kita lewatkan sama saja kita membiarkan orang-orang yang busuk dan koruptif itu berkuasa kembali.

Kita mungkin ingin merubah pemilu, akan tetapi apa yang dapat kita lakukan? 1 bulan kedepan pemilu akan diselenggarakan. Yang dapat kita lakukan adalah dengan menggunakan hak pilih kita untuk memilih orang-orang yang baik daripada tidak memilih, tidak memilih sama saja membiarkan negara ini jatuh ketangan penguasa yang dzalim. Bukankah kita diajarkan untuk tidak mengambil pemimpin dari orang orang yang dzalim? Lalu saat ada pemimpin-pemimpin yang mempunyai rekam jejak baik mengapa tidak kita pilih?

Mungkin kita sudah dibutakan oleh media dan ideologinya kalau lebih banyak orang jahat daripada orang baik. Atau mungkin juga kita sudah dibutakan oleh apatisme kita sendiri sehingga tidak ada orang baik didunia ini selain diri sendiri. Atau mungkin  kita tidak cukup bijak untuk belajar bahwa ada hitam pasti ada putih, ada kegelapan pasti ada cahaya, ada orang jahat pasti ada juga orang baik. Namun sejauh mana kita menjadi lebih bijak untuk memilih orang-orang baik diantara orang-orang jahat.

“politik dan sistem kita mungkin tidak sempurna, demokrasi dan pemilu juga tidak sempurna, lalu apakah kita akan menunggu kesempurnaan untuk menentukan pemimpin? Kita semua sudah lelah menunggu kesempurnaan itu, saya, anda, kalian semua sedang menunggu. Saya, anda dan kalian semua mungkin yakin cara ini bukanlah cara yang tepat, akan tetapi saat kita hanya punya cara ini mengapa tidak kita lakukan, sembari kita memperbaiki dan mencari cara yang tepat untuk memperbaikinya. Kita tidak bisa menggantungkan hidup kepada manusia, tapi realitasnya sebagai makhluk sosial pada akhirnya kita harus menentukan pemimpin yang berasal dari manusia juga. Sekarang bergantung kepada kita dalam memilih, mau yang baik atau yang buruk? Atau tidak memilih itu juga pilihan. Karena kita sudah lelah mari lebih baik kita merenung kembali.”
dan sampai saat inipun kita masih berperang ideologi dengan diri kita sendiri, hati nurani kita, sesama masyarakat dan satu bangsa serta ditambah perang dengan ideologi lain dari luar. bertambahlah lelah kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar