Pemilu
2014 sudah tinggal menghitung hari. sebuah pesta demokrasi terbesar bagi rakyat
Indonesia ini akan berlangsung pada tanggal 9 april 2014 mendatang. Pesta
demokrasi yang pada zaman ORLA dan ORBA
diidam-idamkan seluruh elemen masyarakat, namun baru bisa hadir ketika
Indonesia memasuki jaman Reformasi atau 49 tahun kemerdekaannya.
Akan
tetapi dalam menghadapi pemilu, Indonesia masih dihadapkan kepada permasalahan
baik teknis maupun nonteknis. Bahkan jika ditilik kebelakang masalah ini
bentuknya relatif sama akan tetapi penanganannya tidak kunjung membaik bahkan
kalau bisa dibilang lebih buruk dari tiap penyelenggarannya. Adapun masalah
teknis meliputi pendataan pemilih, penyaluran logistik, dan ketimpangan
kemampuan penyelenggaraan Pemilu ditiap daerah. Di sisi nonteknis tidak jauh
berbeda, pengetahuan masyarakat soal politik dan pemilu, keengganan masyarakat
untuk memilih atau Golput, dan calon yang akan dipilih tidak ada perubahan yang
berarti.
Golput
dari tahun ketahun menjadi permasalahan yang semakin pelik, terbukti dengan
kenaikan yang signifikan terhadap angka golput dari tahun ketahun. Tercatat
angka golput tahun 2004 sebesar 23,3 persen, lalu ditahun 2009 menjadi 29 persen.
Kenaikan angka sebesar 5,7 persen dalam lingkup nasional merupakan angka yang
sangat besar.
Padahal
angka golput berkorelasi erat dengan tingkat demokrasi suatu negara. Selain itu
angka golput juga mencerminkan ketidaksiapan berbagai pihak yang turut berperan
dalam pemilu, yaitu kesiapan yang bersifat teknis dan nonteknis.
Berbagai
pihak pun mengutarakan pendapatnya mengenai tingginya angka golput. Kaum pro
pemerintah menilai angka golput membuat mereka resah dan khawatir terhadap
demokrasi dinegeri ini, selain itu menurut mereka memilih merupakan hak yang
harus dipertanggungjawabkan karena suara mereka akan menentukan arah bangsa
ini. Sumber daya alam dan manusia sangat tergantung kepada kebijakan para
pemimpin yang mereka pilih, karena pemimpinlah yang menentukan dan membuat
kebijakan. Oleh karena itu, perlu adanya partisipasi dari pemilih untuk memilih
pemimpin yang menjunjung tinggi hak-hak rakyat.
Dipihak
anti pemerintah mereka berpendapat bahwa golput itu merupakan hak individu
masing-masing, bahkan dipihak yang lebih ekstrim menyatakan bahwa demokrasi
bukanlah jalan yang tepat sebagai landasan suatu negara. Mereka lebih menuntut
untuk merubah ideologi dan sistem menjadi yang mereka idam-idamkan.
Ajak Terlibat
Jika
berbicara mengenai pilihan dan keputusan untuk memilih maka kita tidak akan
pernah lepas dari subjeknya yaitu manusia. Saat kita melihat keputusan memilih
sangat bergantung kepada subjeknya meliputi pola pikir, lingkungan, ideologi,
kepercayaan, pengalaman, dll maka keputusan mengapa manusia memilih sudah tentu
bisa dilihat dari prespektif psikologi.
Psikologi
adalah ilmu yang mempelajari tentang perilaku manusia. Semua perilaku manusia
bisa dikaji dan dilihat dari ilmu psikologi sehingga saat berbicara mengenai keputusan
manusia dalam bertindak (dalam hal ini keputusan untuk memilih atau tidak) maka
bisa kita lihat dari ilmu psikologi. Kali ini kita akan melihat keputusan untuk
memilih berdasarkan teori yang berlaku pada psikologi sosial.
Teori
perseptif menyatakan bahwa keyakinan seseorang dapat berubah seiring dengan
perubahan perilaku mereka. Teori ini bisa dipakai untuk berbagai kepentingan.
Jika kita melihat perilaku kelompok-kelompok ekstrimis, mereka secara tidak
langsung menggunakan teori ini untuk mencuci otak calon-calon kelompok yang
akan bergabung dengan mereka. Kelompok-kelompok ekstrimis tersebut membuat
perilaku calon berubah seperti perilaku kelompok mereka.
Hasil
yang menarik adalah hanya dengan mengajak calon-calon mengikuti berbagai
kegiatan, cara berpakaian, cara bertindak dan bersikap ternyata sudah cukup efektif untuk membuat calon
kelompok tersebut tercuci otaknya sehingga mereka secara tidak langsung ikut berperilaku
seperti anggota ekstrimis tersebut.
Jika
cara ini dapat dilakukan oleh para pelaku pemilu 2014 nanti, seperti pemerintah
dengan KPU dan Bawaslunya, lalu partai politik dengan calon legislatifnya, dan
masyarakat umum yang pro pemerintahan, maka bukan tidak mungkin pemilih yang
cenderung untuk golput akan merubah keyakinannya untuk ikut menggunakan hak
pilihnya.
KPU
saat ini lebih berfokus mengajak masyarakat melalui komunikasi nonverbal yaitu
melalui iklan-iklan, cara ini hanya efektif untuk beberapa kalangan saja.
Karena jika diperhatikan cara yang dilakukan KPU hanya bersifat menghimbau dan
memberikan dampak negatif jika tidak memilih. Padahal untuk mempersuasif masyarakat butuh lebih
dari sekedar menghimbau dan menjelaskan dampak negatif dari tidak memilih.
Lalu
partai politik melalui calon-calonnya cenderung lebih menguatkan basis masanya
yang berfungsi untuk menambah pundi-pundi suara mereka daripada membantu KPU
mengajak masyarakat untuk memilih. Lalu kaum nasionalis saat ini tidak jauh
berbeda dengan KPU dan partai politik, yaitu mereka berfokus kepada mendengungkan
tentang pentingnya memilih daripada membuat orang lebih cerdas politik.
Jika
ketiga elemen ini bisa menggunakan teori perseptif dengan baik melalui
cara-cara mereka, maka bukan hal mustahil akan semakin banyak pemilih yang
menggunakan hak suaranya pada pemilu 2014 nanti. Cara teori perseptif yang
terbukti efektif dan relatif mudah walaupun dibutuhkan waktu yang relatif lama
akan menarik lebih banyak pemilih untuk memilih. Hanya dengan mengajak pemilih
untuk terlibat aktif dalam pemilu, secara tidak langsung hal tersebut akan
merubah perilaku mereka sehingga mereka menggunakan hak suaranya.
Kecurangan
Politik Uang
Dalam
sebuah penelitian yang dilakukan tentang disonansi, ada hasil yang menarik dan
dapat menjadi acuan tentang manusia dalam berperilaku dan mengambil keputusan.
Penelitian yang dilakukan di Yale University kepada ratusan mahasiswa yang
mempunyai persepsi buruk tentang polisi. Mahasiswa yang menilai buruk polisi
diteliti tentang keputusan mereka dalam seberapa jauh mereka dapat
mempertahankan keputusan penilaiannya terhadap polisi tersebut. Penelitian ini
dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok pertama diharuskan menuliskan hal-hal baik
tentang polisi dan diberikan hadiah kecil. Lalu kelompok kedua diharuskan
menuliskan hal-hal baik tentang polisi akan tetapi diberikan hadiah yang besar.
Selanjutnya
hasil penelitian menunjukkan bahwa dikelompok pertama cenderung menuliskan hal-hal baik tentang polisi karena
efek the less-leads-to-more-effects. Efek ini menjelaskan bahwa yang sedikit akan
memberikan dampak yang besar karena tidak mempunyai alasan yang kuat. Sehingga
mereka akan dengan mudah mengubah keyakinan mereka.
Lalu
dikelompok kedua menunjukkan hal sebaliknya, mereka merasa tertekan karena
hadiah yang diberikan relatif besar sehingga mereka ragu untuk merubah
keyakinannya. Kecenderungan seseorang saat mereka diberi hadiah yang relatif
besar berkorelasi dengan besarnya tekanan yang mereka alami saat melakukan hal
yang berbeda dengan keyakinan mereka.
Fakta
yang berlaku dilapangan terhadap kebiasaan para calon partai politik
menggunakan money politic erat
kaitannya dengan teori ini. Politik uang ini sangat efektif merubah keyakinan
para pemilih untuk merubah pilihannya menjadi memilih calon yang menggunakan
politik ini. Sehingga jika KPU menyuarakan slogan “ambil uangnya, jangan pilih
orangnya” merupakan hal yang kurang tepat.
Terdapat
dua alasan utama, yaitu pertama jika KPU menyuarakan slogan seperti itu maka
secara tidak langsung KPU membiarkan politik uang menjamur dan tidak bisa
dihentikan. Para calon pun dengan bebas melakukan kecurangan ini dan membiarkan
teori seperti yang dikemukakan diatas berlangsung sehingga masyarakat cenderung
memilih calon yang menggunakan politik uang.
Alasan
yang kedua adalah dengan slogan tersebut tidak akan mempengaruhi para calon
yang akan menggunakan politik uang bahkan dikasus terburuk saat para calon
tersebut mendapatkan kursi di legislatif mereka akan cenderung mengembalikan
uang yang sudah mereka keluarkan untuk kampanye dengan cara korupsi daripada
harus mendengarkan aspirasi rakyat karena menurut mereka rakyatpun hanya
mengambil uang mereka saat kampanye.
Atas
pertimbangan diatas maka KPU harus melakukan cara yang lebih efektif untuk
menghindari kecurangan yang bisa terjadi saat pemilu nanti. Cara yang bisa
dilakukan adalah dengan mengkampanyekan Pemilu bersih tanpa uang ataupun
memberikan pencerdasan politik kepada masyarakat daripada harus menyuruh
masyarakat mengambil uang dari partai politik yang pada akhirnya berujung pada
menjamurnya politik uang.
Rezky Akbar Trinovan
Mahasiswa Psikologi UNS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar