Kamis, 06 Maret 2014

MENGAPA HARUS MEMILIH


                                                         Memilih berdasarkan sudut pandang psikologi

Pemilu 2014 sudah tinggal menghitung hari. sebuah pesta demokrasi terbesar bagi rakyat Indonesia ini akan berlangsung pada tanggal 9 april 2014 mendatang. Pesta demokrasi yang  pada zaman ORLA dan ORBA diidam-idamkan seluruh elemen masyarakat, namun baru bisa hadir ketika Indonesia memasuki jaman Reformasi atau 49 tahun kemerdekaannya.

Akan tetapi dalam menghadapi pemilu, Indonesia masih dihadapkan kepada permasalahan baik teknis maupun nonteknis. Bahkan jika ditilik kebelakang masalah ini bentuknya relatif sama akan tetapi penanganannya tidak kunjung membaik bahkan kalau bisa dibilang lebih buruk dari tiap penyelenggarannya. Adapun masalah teknis meliputi pendataan pemilih, penyaluran logistik, dan ketimpangan kemampuan penyelenggaraan Pemilu ditiap daerah. Di sisi nonteknis tidak jauh berbeda, pengetahuan masyarakat soal politik dan pemilu, keengganan masyarakat untuk memilih atau Golput, dan calon yang akan dipilih tidak ada perubahan yang berarti.

Golput dari tahun ketahun menjadi permasalahan yang semakin pelik, terbukti dengan kenaikan yang signifikan terhadap angka golput dari tahun ketahun. Tercatat angka golput tahun 2004 sebesar 23,3 persen, lalu ditahun 2009 menjadi 29 persen. Kenaikan angka sebesar 5,7 persen dalam lingkup nasional merupakan angka yang sangat besar.

Padahal angka golput berkorelasi erat dengan tingkat demokrasi suatu negara. Selain itu angka golput juga mencerminkan ketidaksiapan berbagai pihak yang turut berperan dalam pemilu, yaitu kesiapan yang bersifat teknis dan nonteknis.

Berbagai pihak pun mengutarakan pendapatnya mengenai tingginya angka golput. Kaum pro pemerintah menilai angka golput membuat mereka resah dan khawatir terhadap demokrasi dinegeri ini, selain itu menurut mereka memilih merupakan hak yang harus dipertanggungjawabkan karena suara mereka akan menentukan arah bangsa ini. Sumber daya alam dan manusia sangat tergantung kepada kebijakan para pemimpin yang mereka pilih, karena pemimpinlah yang menentukan dan membuat kebijakan. Oleh karena itu, perlu adanya partisipasi dari pemilih untuk memilih pemimpin yang menjunjung tinggi hak-hak rakyat.

Dipihak anti pemerintah mereka berpendapat bahwa golput itu merupakan hak individu masing-masing, bahkan dipihak yang lebih ekstrim menyatakan bahwa demokrasi bukanlah jalan yang tepat sebagai landasan suatu negara. Mereka lebih menuntut untuk merubah ideologi dan sistem menjadi yang mereka idam-idamkan.

Ajak Terlibat

Jika berbicara mengenai pilihan dan keputusan untuk memilih maka kita tidak akan pernah lepas dari subjeknya yaitu manusia. Saat kita melihat keputusan memilih sangat bergantung kepada subjeknya meliputi pola pikir, lingkungan, ideologi, kepercayaan, pengalaman, dll maka keputusan mengapa manusia memilih sudah tentu bisa dilihat dari prespektif psikologi.

Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang perilaku manusia. Semua perilaku manusia bisa dikaji dan dilihat dari ilmu psikologi sehingga saat berbicara mengenai keputusan manusia dalam bertindak (dalam hal ini keputusan untuk memilih atau tidak) maka bisa kita lihat dari ilmu psikologi. Kali ini kita akan melihat keputusan untuk memilih berdasarkan teori yang berlaku pada psikologi sosial.

Teori perseptif menyatakan bahwa keyakinan seseorang dapat berubah seiring dengan perubahan perilaku mereka. Teori ini bisa dipakai untuk berbagai kepentingan. Jika kita melihat perilaku kelompok-kelompok ekstrimis, mereka secara tidak langsung menggunakan teori ini untuk mencuci otak calon-calon kelompok yang akan bergabung dengan mereka. Kelompok-kelompok ekstrimis tersebut membuat perilaku calon berubah seperti perilaku kelompok mereka.

Hasil yang menarik adalah hanya dengan mengajak calon-calon mengikuti berbagai kegiatan, cara berpakaian, cara bertindak dan bersikap ternyata  sudah cukup efektif untuk membuat calon kelompok tersebut tercuci otaknya sehingga mereka secara tidak langsung ikut berperilaku seperti  anggota ekstrimis tersebut.

Jika cara ini dapat dilakukan oleh para pelaku pemilu 2014 nanti, seperti pemerintah dengan KPU dan Bawaslunya, lalu partai politik dengan calon legislatifnya, dan masyarakat umum yang pro pemerintahan, maka bukan tidak mungkin pemilih yang cenderung untuk golput akan merubah keyakinannya untuk ikut menggunakan hak pilihnya.

KPU saat ini lebih berfokus mengajak masyarakat melalui komunikasi nonverbal yaitu melalui iklan-iklan, cara ini hanya efektif untuk beberapa kalangan saja. Karena jika diperhatikan cara yang dilakukan KPU hanya bersifat menghimbau dan memberikan dampak negatif jika tidak memilih. Padahal  untuk mempersuasif masyarakat butuh lebih dari sekedar menghimbau dan menjelaskan dampak negatif dari tidak memilih.

Lalu partai politik melalui calon-calonnya cenderung lebih menguatkan basis masanya yang berfungsi untuk menambah pundi-pundi suara mereka daripada membantu KPU mengajak masyarakat untuk memilih. Lalu kaum nasionalis saat ini tidak jauh berbeda dengan KPU dan partai politik, yaitu mereka berfokus kepada mendengungkan tentang pentingnya memilih daripada membuat orang lebih cerdas politik.

Jika ketiga elemen ini bisa menggunakan teori perseptif dengan baik melalui cara-cara mereka, maka bukan hal mustahil akan semakin banyak pemilih yang menggunakan hak suaranya pada pemilu 2014 nanti. Cara teori perseptif yang terbukti efektif dan relatif mudah walaupun dibutuhkan waktu yang relatif lama akan menarik lebih banyak pemilih untuk memilih. Hanya dengan mengajak pemilih untuk terlibat aktif dalam pemilu, secara tidak langsung hal tersebut akan merubah perilaku mereka sehingga mereka menggunakan hak suaranya.

Kecurangan Politik Uang

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan tentang disonansi, ada hasil yang menarik dan dapat menjadi acuan tentang manusia dalam berperilaku dan mengambil keputusan. Penelitian yang dilakukan di Yale University kepada ratusan mahasiswa yang mempunyai persepsi buruk tentang polisi. Mahasiswa yang menilai buruk polisi diteliti tentang keputusan mereka dalam seberapa jauh mereka dapat mempertahankan keputusan penilaiannya terhadap polisi tersebut. Penelitian ini dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok pertama diharuskan menuliskan hal-hal baik tentang polisi dan diberikan hadiah kecil. Lalu kelompok kedua diharuskan menuliskan hal-hal baik tentang polisi akan tetapi diberikan hadiah yang besar.

Selanjutnya hasil penelitian menunjukkan bahwa dikelompok pertama cenderung  menuliskan hal-hal baik tentang polisi karena efek the less-leads-to-more-effects. Efek ini menjelaskan bahwa yang sedikit akan memberikan dampak yang besar karena tidak mempunyai alasan yang kuat. Sehingga mereka akan dengan mudah mengubah keyakinan mereka.

Lalu dikelompok kedua menunjukkan hal sebaliknya, mereka merasa tertekan karena hadiah yang diberikan relatif besar sehingga mereka ragu untuk merubah keyakinannya. Kecenderungan seseorang saat mereka diberi hadiah yang relatif besar berkorelasi dengan besarnya tekanan yang mereka alami saat melakukan hal yang berbeda dengan keyakinan mereka.

Fakta yang berlaku dilapangan terhadap kebiasaan para calon partai politik menggunakan money politic erat kaitannya dengan teori ini. Politik uang ini sangat efektif merubah keyakinan para pemilih untuk merubah pilihannya menjadi memilih calon yang menggunakan politik ini. Sehingga jika KPU menyuarakan slogan “ambil uangnya, jangan pilih orangnya” merupakan hal yang kurang tepat.

Terdapat dua alasan utama, yaitu pertama jika KPU menyuarakan slogan seperti itu maka secara tidak langsung KPU membiarkan politik uang menjamur dan tidak bisa dihentikan. Para calon pun dengan bebas melakukan kecurangan ini dan membiarkan teori seperti yang dikemukakan diatas berlangsung sehingga masyarakat cenderung memilih calon yang menggunakan politik uang.

Alasan yang kedua adalah dengan slogan tersebut tidak akan mempengaruhi para calon yang akan menggunakan politik uang bahkan dikasus terburuk saat para calon tersebut mendapatkan kursi di legislatif mereka akan cenderung mengembalikan uang yang sudah mereka keluarkan untuk kampanye dengan cara korupsi daripada harus mendengarkan aspirasi rakyat karena menurut mereka rakyatpun hanya mengambil uang mereka saat kampanye.

Atas pertimbangan diatas maka KPU harus melakukan cara yang lebih efektif untuk menghindari kecurangan yang bisa terjadi saat pemilu nanti. Cara yang bisa dilakukan adalah dengan mengkampanyekan Pemilu bersih tanpa uang ataupun memberikan pencerdasan politik kepada masyarakat daripada harus menyuruh masyarakat mengambil uang dari partai politik yang pada akhirnya berujung pada menjamurnya politik uang.

Rezky Akbar Trinovan
Mahasiswa Psikologi UNS


Tidak ada komentar:

Posting Komentar