Minggu, 23 Maret 2014

URGENSI RUU KEPROFESIAN PSIKOLOGI MENGHADAPI TANTANGAN MEA 2015

Pelaksanaan Masyarakat Ekonomi Asean atau yang biasa disingkat sebagai MEA 2015 hanya tinggal hitungan jari. Diakhir tahun 2015 nanti tepatnya tanggal 31 Desember 2015 tepat pukul 23.59 maka ASEAN akan mempunyai sebuah komunitas pasar bebas dimana seluruh masyarakat Asean dibebaskan mengakses seluruh negara-negara Asean.

Siapapun dapat mencari pekerjaan dinegara-negara yang menjadi anggota asean, mereka akan dibebaskan dari visa dan segala birokrasi yang berbelit lainnya. Selain itu seluruh ekspor dan impor akan dibebaskan dari biaya masuk. Segalanya akan terlihat mudah, menarik dan saling menguntungkan terutama bagi perkembangan dan majunya negara-negara Asean baik disektor ekonomi, kerjasama, solidaritas serta kebudayaan.

Walaupun segalanya akan terlihat mudah, pemberlakuan MEA 2015 ini juga bisa diibaratkan sebagai mata koin. Disatu sisi pemberlakuan ini akan sangat menguntungkan bagi kerjasama multilateral negara-negara Asean, namun disisi yang lain tentunya akan memberikan dampak negatif.

Bagaimana pemberlakuan ini dapat bersifat negatif ?

Jawaban singkatnya adalah persaingan. Didalam sebuah persaingan dapat dipastikan ada pihak yang menang dan ada pula pihak yang kalah. Hal ini yang secara umum dikhawatirkan para ahli jauh sebelum pemberlakuan MEA 2015. ketika sudah tanggal 1 januari 2016 maka mau tidak mau, suka tidak suka, mampu tidak mampu harus mempunyai mental bersaing dan mental juara.

Lalu apa yang bisa kita siapkan untuk menghadapi MEA 2015 agar pemberlakuan MEA ini dapat memberikan lebih banyak manfaat bagi Indonesia dibandingkan dengan mudharatnya?

Sejauh pengamatan yang penulis lakukan di daerah domisili penulis, rata-rata masih banyak yang belum paham mengenai pemberlakuan MEA ini, bahkan jangankan paham, untuk mengetahui bahwa ditahun 2015 akan diberlakukan MEA saja masih sangat sedikit yang mengetahuinya. Padahal jika kita menghitung mundur menuju tanggal diberlakukan MEA ini tentunya tidak akan lama lagi.

Pihak-pihak yang sudah paham mengenai MEA ini menyiapkan berbagai macam strategi salah satunya adalah sertifikasi profesi. Untuk mengakali dan dapat bersaing di masyarakat ekonomi asean ini mereka mengharapkan semua profesi sudah mempunyai sertifikasi yang dapat membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang profesional dibidangnya masing-masing. Dengan adanya sertifikasi tersebut diharapkan ketika mereka bersaing diranah MEA 2015 nanti, sertifikasi tersebut dapat memudahkan persaingan dengan negara-negara lain.

Selain itu pemerintahpun mencari cara untuk mengakali pemberlakuan MEA 2015 dengan tujuan melindungi rakyatnya. Caranya adalah dengan membentuk Undang-Undang. Sudah banyak sekali rancangan undang-undang yang ‘diketok’ oleh anggota dewan yang terhormat menjadi Undang-Undang, dan hal tersebut dilakukan untuk melindungi masyarakat dari sisi hukum. Adanya UU ini secara tidak langsung dapat memperkuat legitimasi hukum dari setiap profesi.

Selain itu dengan adanya UU ini juga secara tidak langsung dapat meningkatkan peningkatan pendapatan negara. contoh yang sedang hangat-hangatnya adalah UU nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu bara dimana salah satu isinya adalah pembuatan smelter (tempat pemurnian bijih mineral). Dengan dibuatnya UU tersebut secara tidak langsung akan menyerap pekerja, meningkatkan nilai pertambangan dan meningkatkan pendapatan negara serta memaksimalkan pengolahan SDA didalam negeri.

RUU Keprofesian Psikologi

Lalu apakah semua keprofesian, pekerjaan, dan bidang-bidang lain sudah mempunyai  Undang-Undang masing-masing? Ternyata masih belum semua, penulis yang sekarang sedang menuntut ilmu untuk menjadi seorang psikolog masih khawatir dengan keprofesian psikolog. Mengapa? Karena RUU keprofesian psikolog sampai saat ini masih sebatas rancangan saja atau kalau boleh menyebutnya baru sebagai angan-angan saja.

Selama 22-23 maret 2014 di UNNES Semarang dalam rangka Rapat Kerja Wilayah ILMPI wilayah 3, penulis mendapat pencerahan bahwa RUU keprofesian psikolog ternyata sudah dirancang sejak awal tahun 2007 oleh HIMSI (Himpunan Psikologi). Lalu gaung mengenai RUU keprofesian ini seakan-akan hilang sampai tahun 2014 ILMPI mulai berkordinasi dengan HIMSI  dan pihak-pihak terkait untuk menggolkan RUU keprofesian ini ke DPR. Target realistis yang ingin dicapai untuk menggolkan RUU tersebut menjadi UU adalah ditahun 2016 mendatang.
Berarti RUU yang sudah sejak tahun 2007 dicanangkan baru diusahakan menjadi UU saat menginjak tahun ke-9. 9 tahun merupakan penantian panjang bagi semua psikolog, sarjana psikologi, dan calon-calon sarjana psikologi. Akan menjadi sebuah ironi tersendiri jika kita mengingat MEA 2015 akan diberlakukan tahun 2015 nanti, sedangkan UU keprofesian ini “baru” akan dijadikan UU ditahun 2016. Itupun jika tidak ada halangan berarti.

HIMSI dan berbagai pihak terkait harus menyiapkan berbagai macam alternatif strategi menghadapi MEA disamping mengusahakan RUU ini sampai ke anggota dewan di Senayan. Sebuah strategi yang nantinya akan melindungi para pelaku psikolog dari Indonesia baik ancaman yang datang dari dalam negeri maupun ancaman saat MEA diberlakukan.

Saat ini keprofesian psikolog mempunyai kode etik yang menjadi acuan bagi keprofesian ini. namun kode etik bukanlah sebuah landasan konstitusi. Sebagaimana diketahui kode etik berasal dari kata etika, dimana etika tersebut dapat diartikan sebagai kebiasaan yang ada didalam suatu kelompok untuk menentukan benar atau salah, baik atau jahat, serta tanggung jawab dari kelompok tersebut. Kode etik inipun bersifat mengikat kepada suatu kelompok tertentu.

Jika menganggap kode etik sudah cukup bagi para psikolog maka hal tersebut jelas sangat salah. mari kita lihat beberapa kejadian yang banyak merugikan psikolog. Salah satu kejadian yang masih sangat umum terjadi adalah penyalahgunaan alat psikotes oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, selain penggunaan alat psikotes mereka juga melakukan analisis hasil dan memberikan hasil tersebut kepada klien. Padahal keilmuan mereka bukan sebagai Psikolog maupun sarjana Psikologi.

Lalu jika para psikolog mengeluhkan hal tersebut, mereka tidak akan mempunyai dasar hukum yang kuat jika hanya mengandalkan kode etik. Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa kode etik hanya berlaku kepada suatu kelompok dalam hal ini adalah anggota HIMSI. Jadi kode etik psikologi hanya mengikat kepada anggota-anggota HIMSI. Oleh karena itu yang dibutuhkan oleh keprofesian Psikologi adalah Undang-Undang tentang Keprofesian Psikologi untuk memperkuat konstitusi keprofesian psikologi.

Akan sangat disayangkan jika para psikolog, sarjana psikologi, dan calon-calon sarjana psikologi masih tidak peka dan tidak peduli terhadap rancangan undang-undang yang akan melindungi dan menguatkan legitimasi hukum keprofesian psikolog. Lalu Ketika masih banyak yang tidak peduli akan timbul sebuah pertanyaan yaitu sampai kapan? Sampai kapan kita bertahan dengan keadaan seperti ini? ironis.

Oleh karena itu baik Himpunan Psikologi, Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia, sarjana psikologi, mahasiswa psikologi dan semua pihak terkait diharapkan dapat lebih peduli mengenai pembahasan RUU keprofesian ini. semoga dengan kepedulian dan semangat yang tinggi untuk memperjuangkan hak-hak para psikolog akan mempercepat proses pengesahan RUU menjadi UU di DPR tahun 2016.

Berikut hasil rapat nasional ILMPI mengenai RUU Keprofesian Psikologi:

Tahun 2014: peningkatan kepedulian tentang RUU keprofesian Psikologi melalui sosialisasi, diskusi publik, seminar, dan lain-lain.

Tahun 2015: pengkajian dan penampungan aspirasi mengenai RUU keprofesian Psikologi baik oleh HIMSI, ILMPI, psikolog, peneliti psikologi, sarjana psikologi, mahasiswa psikologi dan pihak-pihak terkait.

Tahun 2016: audiensi mengenai RUU keprofesian Psikolog di Badan Legislatif DPR RI serta pengesahan RUU menjadi UU.

Diharapkan semua pihak dapat berkordinasi dengan baik untuk mewujudkan UU keprofesian Psikologi. Sehingga psikologi di Indonesia mempunyai dasar hukum yang kuat, diakui secara konstitusi, dan meminimalisir penyalahgunaan dan hak-hak keprofesian psikolog serta mempunyai kekuatan untuk bersaing di Masyarakat Ekonomi Asean 2015 mendatang.

semoga tulisan yang sedikit ini memberikan manfaat dan pencerahan bagi semua para pelaku psikologi di Indonesia, dan apabila terdapat kesalahan-kesalahan seputar informasi yang terdapat di tulisan ini penulis mohon dikoreksi dan diluruskan kesalahan tersebut agar tidak terdapat penyimpangan tujuan awal penulis. 

Ditulis oleh
Rezky Akbar Trinovan
Mahasiswa Psikologi  Universitas Sebelas Maret Surakarta




Rabu, 19 Maret 2014

Pemilu dan Masalah Kompleks Negara



                Tahun 2014 dianggap sebagai tahun politik bagi sebagian rakyat Indonesia, mengapa sebagian? Jawaban yang paling singkat adalah karena masih banyak rakyat Indonesia sendiri yang bersikap acuh tak acuh terhadap penyelenggaraan Pemilu.

                Pemilu yang akan diselenggarakan pada 9 april 2014 merupakan sebuah momentum besar bagi rakyat Indonesia untuk menentukan masa depan  Indonesia. Selain itu pemilu juga sebuah pesta rakyat untuk menentukan calon pemimpin yang akan menahkodai kapal besar yang panjangnya dari sabang sampai merauke.

                Setiap penyelenggaraan pemilu akan selalu diwarnai oleh berbagai macam kejadian, mulai dari konflik antar parpol saat masa kampanye, penentuan koalisi dan oposisi dari berbagai parpol, sampai penggugatan ke Mahkamah Konstitusi yang (biasanya) dilakukan oleh peserta maupun  para pendukung yang kalah dalam pemilu mendatang.

                Akan tetapi penyelenggaraan pemilu pun memberikan dampak positif bagi masyarakat. Sektor yang terkena dampak nyata dari pemilu adalah sektor perekonomian. Baik ekonomi makro, menengah maupun mikro sama-sama terkena dampak positif dari penyelenggaraan pemilu 2014. Hal ini dapat dilihat dari kenaikan nilai tukar rupiah terhadap dolar yang kembali menguat dari sebelumnya sempat menyentuh angka Rp.12.250 pada awal tahun 2014.

                Sektor Usaha Kecil-Menengah (UKM) pun terjadi peningkatan yang signifikan terutama dari pembelanjaan parpol untuk atribut kampanye membuat para pengusaha disektor yang bersangkutan mendapat order yang sangat banyak. Selain itu penyewaan alat dan tempat untuk kampanye pun semakin meningkat. Jelas sekali ini akan mengembangkan ekonomi disektor UKM.

                Walaupun pemilu berkorelasi positif terhadap Indonesia, masih sering kita lihat permasalahan tentang pemilu yang berlarut-larut dan bentuknya sama persis seperti pemilu-pemilu sebelumnya. Contoh nyatanya adalah logistik untuk penyelenggaraan pemilu yang tidak pernah lepas dari kesalahan teknis maupun nonteknis.

Penurunan partisipasi masyarakat terhadap pemilu juga terjadi signifikan. Tercatat dari pemilu 1998 angka partisipasi masyarakat menyentuh 93%, lalu ditahun 2004 menurun menjadi 81% dan terakhir di tahun 2009 hanya menjadi 74% saja. Angka golput yang semakin besar dari setiap penyelenggaraan pemilu menunjukkan masih banyak permasalahan yang bersifat teknis maupun non-teknis.

                Para akademisi,  KPU, pemerintah, LSM, dan lain sebagainya selalu menjadikan golput sebagai objek kajiannya.  Hal ini berkaitan untuk memperbaiki dan mengurangi angka golput dimasyarakat. Namun berbagai macam kajian, penelitian, dan tindakanpun sudah sering dilakukan, akan tetapi belum menunjukkan hasil yang memuaskan bahkan bisa dibilang masih jauh dari memuaskan.

Masalah Besar dibalik Angka Golput

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh pakar psikologi terhadap partisipasi masyarakat untuk  korban bencana mungkin akan sedikit membantu untuk menjelaskan fenomena golput ini dari sisi psikologis manusia.

Penelitian ini dilakukan dengan dua cara untuk menemukan korelasi antara keduanya. Cara yang pertama, para peneliti meneliti tingkat partisipasi masyarakat untuk memberikan donasinya terhadap suatu bencana alam. Peneliti meyakinkan partisipan untuk memberikan donasi yang akan disalurkan untuk korban bencana alam dengan menunjukan betapa parahnya dampak bencana. Lalu cara yang kedua adalah peneliti meneliti tingkat partisipasi  masyarakat untuk memberikan donasinya hanya kepada anak kecil yang menjadi korban bencana alam yang sama. Partisipan ditunjukkan gambar anak kecil yang sedang sekarat dirumah sakit dan sangat membutuhkan bantuan dari para donatur.

                Lalu bagaimanakah hasil dari penelitian ini? Hasil yang menarik ditunjukkan dari penelitian ini. Para peneliti menemukan bahwa partisipan lebih mempunyai keinginan yang besar untuk menolong anak kecil yang menjadi korban bencana alam dari pada memberikan donasi yang ditunjukkan langsung untuk bencana alam tersebut.

Peneliti mengambil kesimpulan bahwa saat dihadapkan terhadap permasalahan yang besar dan kompleks, manusia cenderung enggan untuk membantu dikarenakan merasa permasalahan tersebut begitu besar sehingga bantuan yang mereka berikan tidak akan berarti apa-apa. Disisi lain ketika dihadapkan dengan masalah yang cenderung lebih kecil-dalam kasus ini adalah anak kecil yang menjadi korban bencana alam- mereka tergugah dan secara sukarela memberikan bantuannya untuk menolong si anak kecil tersebut karena mereka merasa bantuannya akan memberi dampak yang nyata bagi si anak kecil ini.

Penelitian ini dapat dikaitkan dengan penyelenggaraan pemilu dan tingginya angka golput dalam setiap penyelenggaraan pemilu. Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa pemilu merupakan sarana rakyat untuk memilih calon pemimpinnya yang akan menentukan nasib bangsa ini dalam lima tahun kedepan. Masalah yang dihadapi calon pemimpin dan rakyatpun bukanlah masalah yang kecil akan tetapi masalah yang sangat kompleks dan besar.

Berdasarkan pemaparan diatas, mungkin saja salah satu penyebab tingginya angka golput disebabkan karena setiap penyelenggaraan pemilu masyarakat dihadapi pada masalah-masalah besar negara ini. Sehingga masyarakat merasa ragu untuk mememilih dengan alasan satu suara yang mereka berikan tidak dapat memberikan dampak yang besar bagi penyelesaian masalah yang dihadapi negara ini.

Jokowi sang Fenomena

                Beberapa hari yang lalu kita dikejutkan dengan keputusan Megawati Soekarno putri melalui surat yang beliau tunjukan kepada Jokowi yang intinya mengatakan bahwa Jokowi merupakan calon presiden dari PDI-P.
                Walaupun keputusan ini sudah banyak diperkirakan sebelumnya oleh kebanyakan para ahli tetapi tetap saja bahwa pencapresan Jokowi merupakan hal yang sangat mengejutkan ditengah-tengah opini yang beredar bahwa ibu Mega masih berniat menjadi Presiden. Megawati padahal mempunyai hak preogratif untuk menentukan capres dari PDI-P termasuk memilih dirinya sendiri, akan tetapi beliau dengan bijak memilih mendengarkan aspirasi rakyat dengan memilih Jokowi.

                Sejak ditetapkannya Jokowi menjadi capres dari PDI-P, geliat ekonomi menunjukan perubahan menuju arah yang positif. Terlihat dari turunnya angka inflasi yang pada awal tahun sempat meninggi. Setali  tiga uang dengan angka inflasi begitu juga dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar yang sempat menyentuh angka Rp.12.250  menjadi Rp.11.300 tepat sesaat Jokowi dicalonkan menjadi capres.

                Pencapresan Jokowi juga berimbas kepada kenaikan transaksi saham. Seperti yang dikutip dari Kepala perwakilan bursa efek Indonesia (BEI) Semarang Cahyanto Kristiadi mengatakan nilai transaksi rata-rata 5-6 trilliun per hari, namun sejak Jokowi ditunjuk sebagai capres angka tersebut melonjak menjadi 16 Trilliun perhari.

                Dari Indeks harga saham gabungan (IHSG) juga menguat drastis, pada penutupan Jumat (14/3) seperti yang dikutip dari Republika menunjukan IHSG menguat 3,04 persen atau 143,51 basis poin menjadi 4.869,68 dari penutupan sehari sebelumnya. Pertumbuhan inipun dipicu dari banyaknya investor yang membeli khususnya saham-saham gabungan.

                Para ahli menilai ini sebagai Jokowi Effect’s yang menunjukan kenaikan positif dari berbagai macam sektor semenjak Jokowi dicalonkan sebagai Calon Presiden. Sangat jelas sekali bahwa ini merupakan fenomena yang luar biasa dan sangat jarang terjadi di Indonesia. namun jika dilihat dari tapak tilas Jokowi sebelum-sebelumnya menunjukan bahwa Jokowi merupakan sosok pemimpin yang berbeda dengan yang lain. Beliau merupakan sosok pemimpin yang sangat dekat dengan rakyat, membela kepentingan rakyat, dan tetap bersikap bersahaja.

                Mungkin faktor-faktor ini pula yang menjadikan kepercayaan publik menjadi tinggi dan optimis semenjak pencalonan Jokowi. Mereka menilai Jokowi dapat memberikan perubahan bagi Indonesia semenjak 16 tahun pasca reformasi. Dengan kualitas yang dimiliki beliau, masyarakat menganggap Jokowi dapat menjadi pemecah kebuntuan demokrasi, birokrasi, politik, ekonomi, dan  masalah kompleks bangsa ini.

                Jika dilihat dari teori yang telah dikemukakan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa jokowi dapat membuat pemegang hak suara untuk menggunakan suaranya terutama untuk mendukung Jokowi sebagai calon presiden. Sehingga diharapkan dapat menurunkan angka golput terutama dari pihak pro-jokowi yang persebarannya sudah sangat banyak di berbagai kota. Kesimpulan ini didasarkan pada masyarakat yang menilai bahwa Jokowi merupakan solusi bagi Indonesia untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada di Indonesia.

                Walaupun Jokowi membawa dampak positif terutama dibeberapa hari pencalonan beliau sebagai capres, Jokowi pun tidak lepas dari kritik terutama dipihak yang menilai beliau sebagai kutu loncat karena beliau baru 1,5 tahun memimpin DKI Jakarta. Padahal beliau pernah berkata bahwa beliau akan menyelesaikan masa jabatan 5 tahun sebagai gubernur Ibukota. Selain itu pencalonan Jokowi pun dinilai sebagai gambling dan sarana pendongkrak suara PDI-P di pemilu legislatif mendatang.

                Terlepas dari bagaimana jalannya pemilu kedepan, pencalonan Jokowi ini kita harapkan dapat menjadi angin segar bagi tumbuhnya demokrasi di Indonesia. pertumbuhan demokrasi salah satunya dapat dilihat dari angka partisipasi pemilih yang menggunakan hak pilihnya nanti pada pemilu legislatif dan Presiden mendatang. Semoga saja.

Ditulis oleh
Rezky Akbar Trinovan

Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Selasa, 11 Maret 2014

Perang Ideologi dizaman Neokolonialisme

ibu saya dulu pernah berkata yang baru saya sadari kebenaraan perkataannya kurang lebih seperti ini,

“nak kamu sekarang hidup dizaman neokolonialisme, bangsa kamu dijajah bukan melalui perang senjata tetapi perang ideologi. Game-game yang kamu mainkan sekarang itu adalah salah satu cara dari perang ideologi dizaman ini, mungkin gim tersebut bermanfaat pada satu sisi akan tetapi disisi lain gim tersebut merusak bangsamu ini secara perlahan.”

Kurang lebih seperti itulah kalimat yang keluar dari sosok ibu yang sekarang bekerja sebagai PNS disalah  satu SMA di Jakarta. Saya dahulu sering kali menyangsikan kalimat tersebut yang selalu diucapkan beliau tatkala saya sedang asik bermain gim sampai akhirnya lupa waktu, lupa belajar, lupa bersosialisasi, lupa, lupa dan lupa.
Dunia kuliah saat ini mengajarkan saya untuk berfikir kritis mengenai hal ini. sudah berapa banyak kita melihat kasus karena sebuah gim seseorang sampai DO dari kuliahnya atau seorang anak mencuri dari ibunya karena hanya membeli voucher untuk bermain gim tersebut, dikasus yang lebih ekstrem lagi seseorang tega menghabisi nyawa orang lain karena bermain gim.

Kasus social learning seperti ini banyak sekali terjadi disekitar kita dan contoh kasus ini hanya berasal dari gim saja. Padahal masih banyak lagi perang-perang pemikiran dizaman sekarang ini. di Psikologi misalnya saya mempelajari bahwa iklan baik cetak maupun elektronik, tayangan televisi, dan semua yang berunsur media merupakan salah satu cara perang ideologi ini. dosen antropologi semester satu yang lalu mengatakan dalam salah satu kuliahnya bahwa cara mencuci otak manusia itu sederhana, yaitu dengan memberi informasi sederhana akan tetapi kemas dengan cara yang berbeda. Inilah yang sering terjadi disetiap media informasi, mereka mengemas informasi sederhana dengan kemasan yang berbeda.

Maka bukanlah sesuatu yang tidak wajar jika kita melihat banyak reformasi ditimur tengah berawal dari media, perang antar negara yang bertetangga terjadi karena media. Salah satu cara perang ideologi yaitu melalui media.

Lalu mengapa terjadi perang ideologis? Jawaban mudahnya adalah karena pernyataan “decartes corgito ergosum” yang artinya saya ada karena saya berpikir. Maka orang yang tidak berpikir sama seperti orang yang tidak hidup atau mati. Orang yang berpikir itu jugalah yang menciptakan ideologi. Sampai disini harus diluruskan bahwa ideologi bukan hanya sebatas pada ideologi liberalisme, sosialisme atau pancasila. Ideologi itu pada dasarnya adalah pemikiran dasar. Bukan hanya manusia yang memiliki ideologi, benda-benda dan iklan-iklanpun merupakan ideologi.

Sampai poin ini kita kembalikan ke realitas yang terjadi dinegara kita ini. zaman neokolonialisme atau perang ideologi ini sudah masuk sejak lama dinegara kita sejak lama. banyak nilai-nilai dan budaya luhur yang menghilang sejak masuknya ideologi-ideologi dari luar. Hanya ada dua cara untuk membendung arus masuknya ideologi tersebut. Cara pertama menerima ideologi tersebut dan membuatnya berasimilasi budaya atau cara yang kedua adalah menolak ideologi yang masuk dengan cara melawannya dengan ideologi juga. Intinya pemikiran melawan pemikiran.
Mungkin tidak menjadi masalah jika ideologi yang masuk itu bersifat baik, kita bisa mencampurkannya dengan yang ada dinegara ini sehingga jadi sebuah produk ideologi baru yang bisa bermanfaat, lalu bagaimana cara untuk melawan ideologi-ideologi yang buruk dan bersifat destruktif tersebut?

Salah satu caranya adalah dengan memilih wakil-wakil rakyat yang mempunyai pemikiran-pemikiran yang akan menangkal pemikiran yang bersifat destruktif tersebut. Karena tidak mungkin 250juta jiwa Indonesia secara individu melawan pemikiran-pemikiran dari luar yang bersifat kolektif. Harus ada wakil-wakil rakyat yang masih menjunjung ideologi kebangsaan. Dan wakil-wakil tersebut bisa didapat saat terjadinya Pemilu.

Saat kita melaksanakan pemilu kita tidak hanya sekedar mencoblos gambar akan tetapi esensinya lebih dari itu. Kita memilih orang-orang yang mempunyai pemikiran kuat untuk kemajuan bangsa ini. mungkin pada tahap ini banyak rakyat dan juga civitas akademika yang meragukan kualitas dari calon-calon yang akan maju dipemilu nanti. Akan tetapi tidak memilih juga bukan solusi, mengutip pernyataan tokoh nasional “tidak memilih itu ibarat seseorang yang berada didalam kapal yang bocor dan orang tersebut hanya berkata kapal ini bocor tanpa bertindak apa-apa”.

Walaupun kita sudah mempelajari rekam jejak calon pemilu nanti, bukan berarti kita memilih sosok yang sempurna ataupun mempunyai ideologi yang kuat. Akan tetapi dengan memilih sosok-sosok yang mempunyai rekam jejak baik kita sudah menapakan satu langkah kedepan bukan kebelakang atau hanya diam ditempat. Selain itu dengan memilih sosok-sosok yang mempunyai rekam jejak yang baik pada dasarnya kita telah memilih sosok-sosok yang cacatnya dapat kita tolerir dan tanggung daripada terpilih orang-orang yang pemburu rente, penjarah pembangungan, dan benalu bangsa.

Pemilu bukanlah mencerminkan keseluruhan demokrasi, akan tetapi pemilu adalah metode kunci dari demokrasi. Mungkin Pemilu yang lalu menghasilkan orang-orang politik yang busuk dan koruptif. Tetapi kita juga punya kesempatan untuk belajar dan memilih orang-orang yang mempunyai ideologi yang berguna untuk kemajuan bangsa ini. saat kesempatan tersebut kita lewatkan sama saja kita membiarkan orang-orang yang busuk dan koruptif itu berkuasa kembali.

Kita mungkin ingin merubah pemilu, akan tetapi apa yang dapat kita lakukan? 1 bulan kedepan pemilu akan diselenggarakan. Yang dapat kita lakukan adalah dengan menggunakan hak pilih kita untuk memilih orang-orang yang baik daripada tidak memilih, tidak memilih sama saja membiarkan negara ini jatuh ketangan penguasa yang dzalim. Bukankah kita diajarkan untuk tidak mengambil pemimpin dari orang orang yang dzalim? Lalu saat ada pemimpin-pemimpin yang mempunyai rekam jejak baik mengapa tidak kita pilih?

Mungkin kita sudah dibutakan oleh media dan ideologinya kalau lebih banyak orang jahat daripada orang baik. Atau mungkin juga kita sudah dibutakan oleh apatisme kita sendiri sehingga tidak ada orang baik didunia ini selain diri sendiri. Atau mungkin  kita tidak cukup bijak untuk belajar bahwa ada hitam pasti ada putih, ada kegelapan pasti ada cahaya, ada orang jahat pasti ada juga orang baik. Namun sejauh mana kita menjadi lebih bijak untuk memilih orang-orang baik diantara orang-orang jahat.

“politik dan sistem kita mungkin tidak sempurna, demokrasi dan pemilu juga tidak sempurna, lalu apakah kita akan menunggu kesempurnaan untuk menentukan pemimpin? Kita semua sudah lelah menunggu kesempurnaan itu, saya, anda, kalian semua sedang menunggu. Saya, anda dan kalian semua mungkin yakin cara ini bukanlah cara yang tepat, akan tetapi saat kita hanya punya cara ini mengapa tidak kita lakukan, sembari kita memperbaiki dan mencari cara yang tepat untuk memperbaikinya. Kita tidak bisa menggantungkan hidup kepada manusia, tapi realitasnya sebagai makhluk sosial pada akhirnya kita harus menentukan pemimpin yang berasal dari manusia juga. Sekarang bergantung kepada kita dalam memilih, mau yang baik atau yang buruk? Atau tidak memilih itu juga pilihan. Karena kita sudah lelah mari lebih baik kita merenung kembali.”
dan sampai saat inipun kita masih berperang ideologi dengan diri kita sendiri, hati nurani kita, sesama masyarakat dan satu bangsa serta ditambah perang dengan ideologi lain dari luar. bertambahlah lelah kita.

Kamis, 06 Maret 2014

MENGAPA HARUS MEMILIH


                                                         Memilih berdasarkan sudut pandang psikologi

Pemilu 2014 sudah tinggal menghitung hari. sebuah pesta demokrasi terbesar bagi rakyat Indonesia ini akan berlangsung pada tanggal 9 april 2014 mendatang. Pesta demokrasi yang  pada zaman ORLA dan ORBA diidam-idamkan seluruh elemen masyarakat, namun baru bisa hadir ketika Indonesia memasuki jaman Reformasi atau 49 tahun kemerdekaannya.

Akan tetapi dalam menghadapi pemilu, Indonesia masih dihadapkan kepada permasalahan baik teknis maupun nonteknis. Bahkan jika ditilik kebelakang masalah ini bentuknya relatif sama akan tetapi penanganannya tidak kunjung membaik bahkan kalau bisa dibilang lebih buruk dari tiap penyelenggarannya. Adapun masalah teknis meliputi pendataan pemilih, penyaluran logistik, dan ketimpangan kemampuan penyelenggaraan Pemilu ditiap daerah. Di sisi nonteknis tidak jauh berbeda, pengetahuan masyarakat soal politik dan pemilu, keengganan masyarakat untuk memilih atau Golput, dan calon yang akan dipilih tidak ada perubahan yang berarti.

Golput dari tahun ketahun menjadi permasalahan yang semakin pelik, terbukti dengan kenaikan yang signifikan terhadap angka golput dari tahun ketahun. Tercatat angka golput tahun 2004 sebesar 23,3 persen, lalu ditahun 2009 menjadi 29 persen. Kenaikan angka sebesar 5,7 persen dalam lingkup nasional merupakan angka yang sangat besar.

Padahal angka golput berkorelasi erat dengan tingkat demokrasi suatu negara. Selain itu angka golput juga mencerminkan ketidaksiapan berbagai pihak yang turut berperan dalam pemilu, yaitu kesiapan yang bersifat teknis dan nonteknis.

Berbagai pihak pun mengutarakan pendapatnya mengenai tingginya angka golput. Kaum pro pemerintah menilai angka golput membuat mereka resah dan khawatir terhadap demokrasi dinegeri ini, selain itu menurut mereka memilih merupakan hak yang harus dipertanggungjawabkan karena suara mereka akan menentukan arah bangsa ini. Sumber daya alam dan manusia sangat tergantung kepada kebijakan para pemimpin yang mereka pilih, karena pemimpinlah yang menentukan dan membuat kebijakan. Oleh karena itu, perlu adanya partisipasi dari pemilih untuk memilih pemimpin yang menjunjung tinggi hak-hak rakyat.

Dipihak anti pemerintah mereka berpendapat bahwa golput itu merupakan hak individu masing-masing, bahkan dipihak yang lebih ekstrim menyatakan bahwa demokrasi bukanlah jalan yang tepat sebagai landasan suatu negara. Mereka lebih menuntut untuk merubah ideologi dan sistem menjadi yang mereka idam-idamkan.

Ajak Terlibat

Jika berbicara mengenai pilihan dan keputusan untuk memilih maka kita tidak akan pernah lepas dari subjeknya yaitu manusia. Saat kita melihat keputusan memilih sangat bergantung kepada subjeknya meliputi pola pikir, lingkungan, ideologi, kepercayaan, pengalaman, dll maka keputusan mengapa manusia memilih sudah tentu bisa dilihat dari prespektif psikologi.

Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang perilaku manusia. Semua perilaku manusia bisa dikaji dan dilihat dari ilmu psikologi sehingga saat berbicara mengenai keputusan manusia dalam bertindak (dalam hal ini keputusan untuk memilih atau tidak) maka bisa kita lihat dari ilmu psikologi. Kali ini kita akan melihat keputusan untuk memilih berdasarkan teori yang berlaku pada psikologi sosial.

Teori perseptif menyatakan bahwa keyakinan seseorang dapat berubah seiring dengan perubahan perilaku mereka. Teori ini bisa dipakai untuk berbagai kepentingan. Jika kita melihat perilaku kelompok-kelompok ekstrimis, mereka secara tidak langsung menggunakan teori ini untuk mencuci otak calon-calon kelompok yang akan bergabung dengan mereka. Kelompok-kelompok ekstrimis tersebut membuat perilaku calon berubah seperti perilaku kelompok mereka.

Hasil yang menarik adalah hanya dengan mengajak calon-calon mengikuti berbagai kegiatan, cara berpakaian, cara bertindak dan bersikap ternyata  sudah cukup efektif untuk membuat calon kelompok tersebut tercuci otaknya sehingga mereka secara tidak langsung ikut berperilaku seperti  anggota ekstrimis tersebut.

Jika cara ini dapat dilakukan oleh para pelaku pemilu 2014 nanti, seperti pemerintah dengan KPU dan Bawaslunya, lalu partai politik dengan calon legislatifnya, dan masyarakat umum yang pro pemerintahan, maka bukan tidak mungkin pemilih yang cenderung untuk golput akan merubah keyakinannya untuk ikut menggunakan hak pilihnya.

KPU saat ini lebih berfokus mengajak masyarakat melalui komunikasi nonverbal yaitu melalui iklan-iklan, cara ini hanya efektif untuk beberapa kalangan saja. Karena jika diperhatikan cara yang dilakukan KPU hanya bersifat menghimbau dan memberikan dampak negatif jika tidak memilih. Padahal  untuk mempersuasif masyarakat butuh lebih dari sekedar menghimbau dan menjelaskan dampak negatif dari tidak memilih.

Lalu partai politik melalui calon-calonnya cenderung lebih menguatkan basis masanya yang berfungsi untuk menambah pundi-pundi suara mereka daripada membantu KPU mengajak masyarakat untuk memilih. Lalu kaum nasionalis saat ini tidak jauh berbeda dengan KPU dan partai politik, yaitu mereka berfokus kepada mendengungkan tentang pentingnya memilih daripada membuat orang lebih cerdas politik.

Jika ketiga elemen ini bisa menggunakan teori perseptif dengan baik melalui cara-cara mereka, maka bukan hal mustahil akan semakin banyak pemilih yang menggunakan hak suaranya pada pemilu 2014 nanti. Cara teori perseptif yang terbukti efektif dan relatif mudah walaupun dibutuhkan waktu yang relatif lama akan menarik lebih banyak pemilih untuk memilih. Hanya dengan mengajak pemilih untuk terlibat aktif dalam pemilu, secara tidak langsung hal tersebut akan merubah perilaku mereka sehingga mereka menggunakan hak suaranya.

Kecurangan Politik Uang

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan tentang disonansi, ada hasil yang menarik dan dapat menjadi acuan tentang manusia dalam berperilaku dan mengambil keputusan. Penelitian yang dilakukan di Yale University kepada ratusan mahasiswa yang mempunyai persepsi buruk tentang polisi. Mahasiswa yang menilai buruk polisi diteliti tentang keputusan mereka dalam seberapa jauh mereka dapat mempertahankan keputusan penilaiannya terhadap polisi tersebut. Penelitian ini dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok pertama diharuskan menuliskan hal-hal baik tentang polisi dan diberikan hadiah kecil. Lalu kelompok kedua diharuskan menuliskan hal-hal baik tentang polisi akan tetapi diberikan hadiah yang besar.

Selanjutnya hasil penelitian menunjukkan bahwa dikelompok pertama cenderung  menuliskan hal-hal baik tentang polisi karena efek the less-leads-to-more-effects. Efek ini menjelaskan bahwa yang sedikit akan memberikan dampak yang besar karena tidak mempunyai alasan yang kuat. Sehingga mereka akan dengan mudah mengubah keyakinan mereka.

Lalu dikelompok kedua menunjukkan hal sebaliknya, mereka merasa tertekan karena hadiah yang diberikan relatif besar sehingga mereka ragu untuk merubah keyakinannya. Kecenderungan seseorang saat mereka diberi hadiah yang relatif besar berkorelasi dengan besarnya tekanan yang mereka alami saat melakukan hal yang berbeda dengan keyakinan mereka.

Fakta yang berlaku dilapangan terhadap kebiasaan para calon partai politik menggunakan money politic erat kaitannya dengan teori ini. Politik uang ini sangat efektif merubah keyakinan para pemilih untuk merubah pilihannya menjadi memilih calon yang menggunakan politik ini. Sehingga jika KPU menyuarakan slogan “ambil uangnya, jangan pilih orangnya” merupakan hal yang kurang tepat.

Terdapat dua alasan utama, yaitu pertama jika KPU menyuarakan slogan seperti itu maka secara tidak langsung KPU membiarkan politik uang menjamur dan tidak bisa dihentikan. Para calon pun dengan bebas melakukan kecurangan ini dan membiarkan teori seperti yang dikemukakan diatas berlangsung sehingga masyarakat cenderung memilih calon yang menggunakan politik uang.

Alasan yang kedua adalah dengan slogan tersebut tidak akan mempengaruhi para calon yang akan menggunakan politik uang bahkan dikasus terburuk saat para calon tersebut mendapatkan kursi di legislatif mereka akan cenderung mengembalikan uang yang sudah mereka keluarkan untuk kampanye dengan cara korupsi daripada harus mendengarkan aspirasi rakyat karena menurut mereka rakyatpun hanya mengambil uang mereka saat kampanye.

Atas pertimbangan diatas maka KPU harus melakukan cara yang lebih efektif untuk menghindari kecurangan yang bisa terjadi saat pemilu nanti. Cara yang bisa dilakukan adalah dengan mengkampanyekan Pemilu bersih tanpa uang ataupun memberikan pencerdasan politik kepada masyarakat daripada harus menyuruh masyarakat mengambil uang dari partai politik yang pada akhirnya berujung pada menjamurnya politik uang.

Rezky Akbar Trinovan
Mahasiswa Psikologi UNS


Rabu, 26 Februari 2014

Mengapa Saya Harus Mencoblos ?

Pertanyaan mengapa biasanya digunakan manusia sebagai sarana berfilsafat. Kata mengapa-lah yang membuat manusia menemukan apa yang ingin mereka cari. Dengan kata mengapa jugalah manusia dapat memiliki keyakinan yang kuat akan hal yang ia yakini. Kata mengapa juga turut andil dalam seluruh kemajuan peradaban manusia dimuka bumi.

Saat tidak ada manusia yang berkata mengapa, maka bisa dipastikan tidak akan ada lagi perkembangan atau kemajuan didalam peradaban manusia. Oleh karena itu dalam menjalani kehidupan kembangkanlah kata mengapa itu.

Saya tidak akan membahas lebih jauh tentang filsafat ataupun kata mengapa tersebut. Yang akan saya tekankan disini bahwa kita harus menemukan jawaban mengapa kita (saya sendiri, pembaca, maupun seluruh elemen masyarakat Indonesia) harus mencoblos pada saat tanggal 9 april mendatang.

Seperti yang telah saya ungkapkan sebelumnya, bahwa kata mengapa bisa menjadikan manusia memiliki keyakinan yang kuat. Dengan pertanyaan mengapa saya harus mencoblos, maka secara tidak langsung kita berfilsafat untuk merenungkan, mencari, memilah, mengkaji tentang pertanyaan tersebut.

Jawaban dari pertanyaan diatas memang seharusnya berasal dari individu-individu bukan jawaban dari orang lain, karena kedaulatan individu sangat diakui dan dijunjung oleh hukum di negeri ini, Indonesia. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa jawaban dari orang lain juga turut andil dalam menentukan pola pikir ataupun sebagai referensi seseorang dalam bertindak dan berperilaku. Dalam hal ini saya melihat manusia dari mazhab Humanistik.

Karena saya......

Jawaban dari pertanyaan diatas bisa bermacam-macam dan memiliki hasil yang bermacam-macam terhadap perilaku manusia nanti, karena jawaban tersebut dapat menjadi referensi manusia dalam menentukan pilihan. Akan tetapi sebelum menjawab pertanyaan tersebut mari kita melihat beberapa quote dari beberapa tokoh yang mungkin dapat menginspirasi dan menjadi objek kajian serta referensi dalam menjawab pertanyaan mengapa.

“apakah kita harus menunggu sampai negara ini bersih jika kita ingin melakukan perubahan?”-anies baswedan.

Lalu quote diatas dikuatkan oleh pernyataan gubernur jawa tengah terpilih,

“terlibatlah dalam perubahan, dan tebarkan virus kebaikan.”-Ginanjar Pranowo

Apa yang dapat kita ambil dan simpulkan dari kedua quote diatas?

Bahwa dalam memperbaiki keadaan republik ini kita tidak hanya bisa diam atau menunggu negara ini sempurna. Karena saat kita menuntut sebuah kesempurnaan tanpa perbuatan maka kita tidak akan pernah mendapatkan kesempurnaan tersebut. Akan tetapi jika kita menuntut sebuah kesempurnaan, maka kita akan mendapatkan kesempurnaan tersebut, setidaknya kesempurnaan yang bersifat subjektif yaitu kesempurnaan yang kita inginkan. Hanya dengan terlibatlah maka kita berperan dalam menentukan arah bangsa ini.

Dengan terlibat dalam perubahan, maka kita dapat sedikit-sedikit dengan tangan kita yang kecil ini membantu membersihkan negeri ini. coba anda bayangkan, jika anda terlibat dalam perubahan lalu mengajak orang lain dan orang lain tersebut mengajak orang lain lagi dan seterusnya, maka berapa banyak tangan-tangan kecil yang membantu membersihkan negeri ini atau setidaknya belajar membersihkan negeri ini. bukankah asas gotong royong juga berdasarkan berapa banyak individu-individu yang terlibat dalam menyelesaikan suatu permasalahan?

Mungkin pernyataan diatas lebih banyak keteori dan omong kosong, akan tetapi kita lihat contoh aplikatif dalam pernyataan diatas. Lingkungan anda tertutup oleh abu vulkanik pasca meletusnya sebuah gunung berapi, lalu orang-orang disekitar anda dan termasuk anda sendiri juga memilih untuk diam tanpa usaha membersihkan abu tersebut bahkan berpangku tangan menunggu orang lain membersihkanya, pola pikir kalian satu lingkungan sama. Maka apakah lingkungan kalian akan bebas atau bersih dari abu vulkanik? Tidak.

Lalu coba kita balik skenarionya. Lingkungan anda tidak peduli dengan abu vulkanik yang tebal dan terlanjur mengotori lingkungan anda. Lalu anda mencoba membersihkannya tapi tanpa mengajak orang lain disekitar lingkungan anda. Maka apa yang terjadi, mungkin lingkungan anda akan bersih tetapi dalam jangka waktu yang sangat lama dan tidak akan optimal.

Skenario terakhir adalah ketika anda mengajak orang lain dan orang lain mengajak orang lain lagi terlibat dalam upaya pembersihan abu vulkanik. Sampai akhirnya seluruh lingkungan anda berpartisipasi aktif dalam mengadakan perubahan ini. maka apa yang akan anda dapatkan? Anda dapat menyimpulkannya sendiri.

Begitu juga dengan keterlibatan anda dalam pemilu nanti. Mungkin anda menganggap satu suara tidak akan berdampak apapun. Namun 30% di Indonesia ini memiliki pola pikir yang sama dengan anda tanpa ada yang menyadarinya maka berapa banyak tangan-tangan kecil yang tidak terlibat dalam upaya perubahan. Dengan apatisme tersebut maka sudah tentu akan sulit membuat orang-orang yang apatis akan turut aktif terlibat dalam perubahan. Ah sudahlah kawan... mungkin ini hanya sebuah chaos theory yang saya rancang sendiri.

 “Hanya mereka yang berani menuntut haknya, pantas diberikan keadilan. Kalau rakyat Indonesia tidak berani menuntut haknya, biarlah mereka ditindas sampai akhir zaman oleh penguasa-penguasa korup mereka.”-soe hok gie

Atau jika terlibat dalam perubahan masih belum dapat dijadikan referensi, maka quote dari soe hok gie diatas dapat menjadi referensi lain. Menuntut hak demi mendapatkan keadilan. Dalam menyikapi demokrasi saat ini ada 3 pilihan yang dapat dilakukan, yang pertama adalah mencoblos demi menuntut hak kita, dengan menuntut hak kita maka kita menjemput keadilan yang kita inginkan. Lalu yang kedua adalah tidak mencoblos akan tetapi menyiapkan sebuah langkah revolusi lagi. Dengan revolusi harapannya dapat menata ulang kesalahan sistemik yang sudah ada dan melekat dan yang terakhir adalah menjadi apatis yang tidak terlibat dalam hal apapun, jika ditindas hanya bisa pasrah karena ditindaspun mereka sudah tidak akan peduli.


“karena saya cinta Indonesia maka saya mempunyai rasa memiliki terhadap negeri ini, dengan rasa memiliki itulah maka saya mempunyai motivasi yang kuat untuk terlibat dalam perubahan dinegeri ini.”

Jumat, 21 Februari 2014

Aktualisasi Deklarasi Nasional "Kembali ke Pasar Tradisional"

Keprihatinan IKAPPI (Ikatan Pedagang Pasar Indonesia) terhadap kondisi pasar tradisional terbukti sangat serius. Bukti keseriusan mereka tercermin dari diselenggarakannya deklarasi nasional dengan tema kembali kepasar tradisional.

Deklarasi nasional tersebut berawal dari IKAPPI sebagai organisasi yang bertujuan untuk melindungi pasar tradisional menemukan banyak sekali masalah yang terjadi dari tahun ke tahun terhadap pasar tradisional. Mulai dari pembongkaran, pengusiran, kenaikan inflasi yang berdampak pada harga pasar sampai harus bersaing dengan ritel-ritel modern yang berbau kapitalisme.

Upaya IKAPPI pun mendapatkan respon dari pedagang dan pemerintah,terbukti dengan hadirnya kurang lebih seribu pedagang yang berdomisil di Surakarta maupun seluruh Indonesia. Selain itu pihak pemerintah juga mendukung upaya tersebut dengan ditunjuknya ketua DPD RI sebagai duta pasar tradisional.

Akan tetapi yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah sebuah deklarasi nasional yang bertujuan untuk mengembalikan kedigdayaan pasar tradisional atau yang disebut dalam UU sebagai pasar rakyat ini akan efektif? Apakah dengan deklarasi tersebut akan meningkatkan minat masyarakat untuk kembali berbelanja dipasar tradisional? Apakah juga pemerintah akan menjadi lebih prorakyat terutama pro terhadap pedagang-pedagang pasar? Lalu apakah para pelaku pasar akan membenahi diri setelah adanya deklarasi nasional?

Jawabannya mungkin iya dan mungkin juga tidak. Iya, jika saja perjuangan tidak berhenti hanya sampai diadakannya deklarasi nasional. Akan tetapi perlu aktualisasi lebih lanjut setelah adanya deklarasi ini. kita dapat mengambil contoh ditahun 90an dimana terjadi deklarasi penanaman buah kakao. Indonesia saat itu punya kemandirian dibidang kakao, tercatat dari tahun 90an sampai 2002 setelah deklarasi tersebut Indonesia dapat memproduksi kakao mencapai 450 Ton. Akan tetapi kenyataannya sekarang menunjukkan Indonesia kembali mengimpor buah Kakao dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Jika mengambil pengalaman deklarasi penanaman buah kakao tersebut, maka upaya deklarasi nasional untuk mewujudkan kemandirian pasar tradisional perlu ditanggapi serius oleh pemerintah, ,masyarakat dan juga pedagang. Ketiga elemen tersebut perlu bersinergi dalam jangka waktu yang lama bahkan terus menerus agar tidak terjadi hal yang sama seperti deklarasi buah kakao.

Yang harus disadari oleh pemerintah, masyarakat, dan pedagang adalah deklarasi nasional tidak serta merta membuat kaum kapitalisme angkat kaki dari negara ini. semakin tinggi layar dikembangkan semakin besar pula angin yang menerjang, begitu juga dengan kondisi pasar tradisional. Mereka akan tetap dihadapkan pada persoalan yang sama bahkan lebih buruk. Akan tetapi adanya deklarasi ini setidaknya memberikan secercah harapan untuk mewujudkan gerakan kembali berbelanja dipasar tradisional.

Kebijakan-kebijakan yang pro pasar harus diwujudkan dan diimplementasikan serta dilaksanakan. Lalu kebijakan yang mendukung kapitalisme harus juga dienyahkan atau setidaknya dikecilkan ruang geraknya. Jangan sampai alih-alih meningkatkan pendapatan pajak yang tinggi dari ritel-ritel modern membuat pemerintah buta terhadap potensi pasar tradisional yang sesungguhnya dapat membuat masyarakat lebih mandiri.
Kemandirian masyarakat inilah yang harus dilihat dalam jangka panjang, karena dengan terjadinya kemandirian maka pemerintah tidak perlu repot-repot menyubsidi rakyat terus menerus. Sehingga anggaran yang ditetapkan APBN/APBD dapat dialokasikan kepada sektor-sektor yang lebih penting lagi.


Lalu dengan aktualisasi deklarasi nasional ini diharapkan mengembalikan kejayaan pasar tradisional yang pernah terjadi dijaman dahulu. Jangan ada yang saling tunggu antara pemerintah, masyarakat, maupun pedagang karena dengan bergerak bersamalah yang membuat tujuan deklarasi ini tercapai.

Idealisme Aktivis Menghadapi Tantangan Realitas



The Founding Father Indonesia, Ir.Soekarno, pernah berpidato yang selalu dikenang sampai saat ini. beliau berkata “beri aku seribu orang tua maka akan kucabut semeru dari akarnya, dan berikan aku 10 pemuda maka akan kuguncangkan dunia” begitu kurang lebih salah satu isi pidato beliau. Bung Karno kala itu melihat realitas yang ada bahwa pemuda merupakan ujung tombak sebuah perjuangan. Ditangan para pemuda pada waktu itulah proklamasi kemerdekaan Indonesia bisa dicapai dengan cepat tanpa ada mempertimbangkan intervensi dari pihak penjajah.

Sampai saat ini, kata-kata dari bung Karno itulah yang selalu melecut semangat pemuda dari tahun ke tahun. Kata-kata tersebut banyak melahirkan aktivis pemuda yang optimis terhadap potensinya, mandiri dalam kehidupannya, dan kritis dalam sikap serta perbuatannya. Dengan lahirnya banyak aktivis pemuda yang mempunyai idealis dan optimisme tinggi berkorelasi erat dengan kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan dinegeri ini. dapat dilihat dari betapa cepatnya negara ini semakin maju dan mandiri setelah memperoleh kemerdekannya.

Aktivis pemuda seakan-akan tidak akan pernah ada habisnya, karena memang pemuda tidak akan pernah mati. Dimana masih ada kelahiran disanalah akan ada calon aktivis pemuda. Dengan regenerasi pemuda-pemuda inilah yang membuat negara ini tidak pernah kehabisan ide untuk memperbaiki kondisi negara ini.

Akan tetapi patut diperhatikan, tidak semua pemuda memilih jalan untuk menjadi aktivis. Bukan semata-mata mereka tidak ingin atau tidak peduli. Karena lebih kepada kebebasan masing-masing individu untuk memilih jalan hidupnya. Saat seorang anak tumbuh menjadi seorang pemuda disanalah mereka bebas dalam menentukan jalan hidup yang akan dipilihnya.

Banyak faktor juga yang mempengaruhi sikap pemuda dalam memilih jalannya, 2 faktor utama dapat kita lihat dari mazhab psikologi yaitu behaviorisme dan humanistik. Jika dilihat dari sudut pandang behaviorisme, maka pemuda memilih jalan hidupnya yang sekarang karena dipengaruhi faktor lingkungan yang membentuknya. Jadi lingkungan sangat intens dalam membentuk kepribadian dan jalan hidup seseorang.

Jika ditilik dari humanistik, maka ada faktor lain yang mempengaruhi pilihan pemuda dalam menentukan jalan hidupnya, yaitu faktor diri sendiri dalam menyerap apa yang ada dilingkungan ataupun menolaknya.

Idealis vs realitas

”idelisme tidak selalu berbanding lurus dengan realitas yang tampak, akan tetapi realitas menjadi tolak ukur sejauh mana tingkat idealisme itu sendiri”-rezky-

setelah memilih menjalani kehidupan aktivis, maka merekapun dituntut untuk kritis terhadap apa yang mereka lihat, rasakan, dan hadapi. Pemikiran mereka pun dituntut untuk mencari solusi bukan hanya kritik tanpa arti. Selain itu yang harus dihadapi para aktivis adalah mengaktualisasikan apa yang sudah dikritisi, dipikirkan, dan direncanakan di lingkungannya.

Biasanya para aktivis akan sulit menghadapi realitas yang ada karena berbeda dengan bayangan yang selama ini mereka pikirkan. Idealisme mereka dalam mengkritisi, berpikir, dan melakukan perubahan dalam perbuatan acapkali terhambat oleh realitas yang ada. Belum tentu A dalam kajian mereka akan sama dengan A dalam realitasnya. Oleh karena itu disinilah akan menjadi tolak ukur sejauh mana tingkat idealisme dan usaha mereka memperjuangkan idealisme mereka.


Jika mereka dapat mencari solusi atas perbedaan antara idealisme dan realitas yang mereka hadapi, maka mereka berhasil menaiki satu anak tangga menuju cita-cita mereka. Jika mereka hanya mengeluh terhadap realitas yang ada, maka runtuhlah idealisme yang selama ini mereka bangun.